Biola Tak Berdawai

Dua minggu terakhir ini nganggur berat setelah semua urusan sekolah selesai. Akhirnya beli dvd BBF (lagi-lagi BBF) sama novel-novel Ilana Tan, pada akhirnya seminggu kemarin sukses menghabiskan waktu di depan buku dan TV. Kadang main komputer buka FB, twitter, dll (blog ga kesentuh).

BBF baru beres sampai episode 21, pengen ngelanjutin besok aja, iseng-iseng buka laci bufet, tempat VCD dan DVD lama. Triing, di paling depan ada film lama yg gue sendiri ga yakin udah nonton atau belum, Biola Tak Berdawai. Seingat gue dulu waktu pertama kali beli DVDnya masih kelas 3 SD, orang tua dulu lagi hobi-hobinya nonton film, jadi gue sering ikut-ikutan. Nah, pas nonton film ini kalau ga salah gue ketiduran di tengah-tengah film karena belum hobi dan belum "ngeh" sama ceritanya. Akhirnya hari ini bertekad "harus nonton sekarang juga" (walaupun udah telat banget).

Cast : Ria Irawan (as Renjani), Nicholas Saputra (as Bhisma), Jajang C. Noer (as Mbak Wid), Dicky Lebrianto (as Dewa)


Gambar yang pertama kali muncul di TV adalah iklan-iklan film yang gambarnya masih keliatan zaman dulu banget, gambar-gambar tahun 2003. Scene pertama banyak lilin-lilin yang terkesan tradisional mistis dengan soundtrack biola, lalu terlihat seseorang membuka kartu tarot terakhir yang bertuliskan 'death'. Saat itu gue yakin film ini bakal sad ending.

Settingnya di suatu rumah yang berfungsi sebagai rumah asuh dan rumah sakit bagi anak-anak penyandang cacat. Rumah itu didirikan oleh wanita bernama Renjani yang usianya sekitar 30-an dibantu oleh dokter eksentrik yang sering dipanggil Mbak Wid. Mengapa eksentrik? Karena menurut gue penampilannya paranormal padahal dokter, beliau sering meramal dengan tarot dan seringkali ramalannya tepat.

Renjani sangat menyayangi seorang anak bernama Dewa yang memiliki kelainan pada otaknya sehingga tidak dapat melakukan respon dengan baik. Dulu Dewa divonis hanya dapat bertahan hidup beberapa minggu, tapi nyatanya ia dapat hidup sampai berumur 8 tahun. Suatu saat Dewa dibawa ke sebuah konser biola oleh Renjani dimaksudkan untuk terapi. Setelah konser selesai, Dewa tidak mau pulang dan datanglah Bhisma, seorang pemain biola yang daritadi memperhatikan Dewa dan Renjani. Tak disangka Dewa mencengkram bow (tongkat biola) Bhisma. Ternyata Dewa menyukai tarian dan seni. Akhirnya mereka saling akrab dari pertemuan itu dan mulai memanjakan Dewa dengan tarian ballet Renjani juga permainan biola Bhisma.

Hanya dengan tarian dan musiklah Dewa dapat mengangkat kepala dan seperti akan berbicara. Selebihnya Dewa terus menunduk. Dengan respon Dewa itulah Renjani dan Bhisma bahagia. Banyak kenangan dan dilema yang terjadi setelah itu, Bhisma membuatkan lagu berjudul Biola Tak Berdawai untuk Renjani dan Dewa dan akan dimainkan pada suatu konser di tempat pertama kali mereka bertemu. Bhisma sempat berpikir bahwa anak-anak seperti Dewa adalah biola yang tak berdawai, tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan nada-nada yang indah, namun setelah melihat rumah asuh Renjani dan mengenalnya, ia merasa setiap makhluk Tuhan memiliki keindahan masing-masing.

Tapi dibalik semua kebahagiaan itu ada kisah kelam di masa lalu yang masih membekas dan dapat mengancam kebahagiaan mereka kapan saja. Renjani dan Dewa tidak datang ke konser. Bhisma terlihat frustasi dan memutus dawai biolanya, ia pergi ke rumah asuh dan menghadapi kenyataan bahwa salah satu orang yang disayanginya meninggal dunia pada saat akan pergi ke konser. Ia berlari dan memeluk Dewa yang masih tertunduk, kemudian berteriak dan menangis.

Bhisma menggandeng Dewa menuju satu makam dan meletakkan 2 mawar di atasnya. Renjani mengidap kanker rahim yang sudah ganas akibat aborsi di masa lalunya. Di depan makam, Bhisma memainkan lagu Biola Tak Berdawai. Dewa sekali lagi mengangkat kepalanya dan kali ini ia mengungkapkan rasa sayangnya kepada Renjani dengan terbata-bata. Dewa kembali tertunduk, nada-nada Biola Tak Berdawai terus mengalun.


Hati adalah sebuah ladang harapan yang tak terbatas, dimana keajaiban terkadang bersemai. (Biola Tak Berdawai - 2003)



NB : gue nangis
|
0 Responses