Fast Track? It Seems to be No
Kamis, Agustus 11, 2011
Akhir-akhir ini banyak teman yang bertanya pada saya, "Kamu mau ambil fast track ya?"
Atau bahkan ada yang langsung menuduh, "Pasti kamu mau langsung fast track." =.=
Pertama-tama, apa itu fast track? Mungkin kalau diibaratkan sekolah, fast track itu seperti program akselerasi, lebih tepatnya jembatan antara S-1 dengan S-2. Bila mengikuti program fast track, mata kuliah S-2 yang akan diambil setelah lulus S-1 bisa diambil sebagian pada semester akhir di S-1 sehingga beban S-2 nantinya tidak terlalu berat dan studi dapat diselesaikan dalam waktu 5 tahun (S-1 + S-2). Kurang lebih begitu, mohon koreksi bila ada kesalahan.
Nah, jawaban dari kalimat satu dan dua pada awal posting ini adalah, "Sepertinya tidak." Sebenarnya saya punya cita-cita untuk melanjutkan S-2 ke Jerman atau Belanda, kalau fast track tentu harus melanjutkan S-2 di tempat yang sama, namun ini juga bergantung pada keadaan akademik saya di semester 5 atau 6 nanti.
Bila sekiranya melanjutkan studi ke Jerman/Belanda itu sudah 70% terealisasikan, saya positif tidak akan mengambil fast track. Bila kemungkinan melanjutkan studi ke Jerman/Belanda masih di bawah 50%, kemungkinan saya akan ambil fast track.
Kenapa masih kemungkinan? Alasan saya tidak ingin mengambil fast track sebenarnya karena saat SMP dan SMA saya mengikuti program akselerasi, jadi saya ingin agak "santai" saat di perguruan tinggi, hahaha. Kalaupun nanti cuma ITB yang mau menerima saya sebagai mahasiswa S-2, saya akan tetap menjalaninya dalam 2 tahun dan tidak fast track.
Kenapa ngotot harus ambil S-2? Karena setelah kuliah saya tidak ingin bekerja, saya tidak suka kata 'bekerja', saya lebih ingin belajar dengan kedok bekerja. Belajar dan mengajar adalah hal paling menyenangkan bagi saya dan saya ingin suatu saat nanti menjadi ahli belajar dan ahli mengajar.
Nah bukan berarti saya sama-sekali-tidak-mau mengambil fast track, tapi kemungkinan-besar tidak akan mengambil fast track. Saya ingin menikmati pendidikan saya dan tidak ingin ini berlalu terlalu cepat. Mudah-mudahan hidup saya masih cukup panjang untuk menjadi pengajar dan melihat pendidikan Indonesia 50 tahun lagi :D
Atau bahkan ada yang langsung menuduh, "Pasti kamu mau langsung fast track." =.=
Pertama-tama, apa itu fast track? Mungkin kalau diibaratkan sekolah, fast track itu seperti program akselerasi, lebih tepatnya jembatan antara S-1 dengan S-2. Bila mengikuti program fast track, mata kuliah S-2 yang akan diambil setelah lulus S-1 bisa diambil sebagian pada semester akhir di S-1 sehingga beban S-2 nantinya tidak terlalu berat dan studi dapat diselesaikan dalam waktu 5 tahun (S-1 + S-2). Kurang lebih begitu, mohon koreksi bila ada kesalahan.
Nah, jawaban dari kalimat satu dan dua pada awal posting ini adalah, "Sepertinya tidak." Sebenarnya saya punya cita-cita untuk melanjutkan S-2 ke Jerman atau Belanda, kalau fast track tentu harus melanjutkan S-2 di tempat yang sama, namun ini juga bergantung pada keadaan akademik saya di semester 5 atau 6 nanti.
Bila sekiranya melanjutkan studi ke Jerman/Belanda itu sudah 70% terealisasikan, saya positif tidak akan mengambil fast track. Bila kemungkinan melanjutkan studi ke Jerman/Belanda masih di bawah 50%, kemungkinan saya akan ambil fast track.
Kenapa masih kemungkinan? Alasan saya tidak ingin mengambil fast track sebenarnya karena saat SMP dan SMA saya mengikuti program akselerasi, jadi saya ingin agak "santai" saat di perguruan tinggi, hahaha. Kalaupun nanti cuma ITB yang mau menerima saya sebagai mahasiswa S-2, saya akan tetap menjalaninya dalam 2 tahun dan tidak fast track.
Kenapa ngotot harus ambil S-2? Karena setelah kuliah saya tidak ingin bekerja, saya tidak suka kata 'bekerja', saya lebih ingin belajar dengan kedok bekerja. Belajar dan mengajar adalah hal paling menyenangkan bagi saya dan saya ingin suatu saat nanti menjadi ahli belajar dan ahli mengajar.
Nah bukan berarti saya sama-sekali-tidak-mau mengambil fast track, tapi kemungkinan-besar tidak akan mengambil fast track. Saya ingin menikmati pendidikan saya dan tidak ingin ini berlalu terlalu cepat. Mudah-mudahan hidup saya masih cukup panjang untuk menjadi pengajar dan melihat pendidikan Indonesia 50 tahun lagi :D